Soemohardjo seorang Mantri Guru di Bagelen punya beberapa anak yang belajar di sekolah berasrama OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) Magelang. Soemohardjo tentu akan bangga melihat anak-anaknya menjadi pegawai pangrehpraja alias pamong parja alias pegawai negeri sipil di masa pemerintahan kolonial.
Suatu hari, hari kabar buruk datang dari Magelang. Rupanya, Oerip anak tertuanya, yang ketika SD pernah mengepung Kampung Afrika yang berisi anak-anak serdadu di Purworejo, kabur dari OSVIA ke Betawi. Tujuannya adalah masuk sekolah perwira militer di Jatinegara. Remaja yang tabiatnya tak kenal takut dan keras kepala tentu merasa cocok jadi perwira. Soemohardjo senior pun syok dengan berita itu.
Menjadi serdadu di awal abad XX adalah kehinaan. Menurut Haji Daeng Mangemba, dalam bukunya Takutlah Pada Orang-orang Jujur (2002), bagi orang Bugis ada pantangan untuk menjadi serdadu Belanda yang disebut Tenguruk Soldadu. Pekerjaan itu biasanya tempat pelarian orang-orang miskin, putus asa, atau jagoan-jagoan yang hidupnya keras. Butuh waktu untuk berusaha menerima kenyataan, yang sebenarnya tak pahit-pahit amat itu. Soemohardjo akhirnya rela memberikan sangu, bahkan menghadiahi sepeda motor ketika Oerip sudah dilantik jadi letnan muda.
Tak hanya Soemohardjo senior saja yang syok dan kesal ketika anaknya jadi militer kolonial, tapi juga ayah dari Gatot Subroto yang justru marah ketika anaknya masuk sekolah militer di Magelang untuk jadi sersan. Padahal kala itu, gaji sersan, apalagi letnan, tergolong tinggi.
Meski profesi militer (baca: tentara) dianggap hina, setidaknya 75 persen serdadu di militer Hindia Belanda --yang disebut Koninklijk Nederland Indische Leger (KNIL) -- adalah orang-orang pribumi. Mulai dari Jawa, Manado, atau Ambon. Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003), pada 1916, terdapat 30.402 orang KNIL pribumi. Sebanyak 17 ribu di antaranya orang Jawa, lima ribu Manado dan empat ribu Ambon. Jumlah serdadu pribumi itu terus bertambah, karena jumlah orang Belanda di Indonesia tak akan cukup menempati semua posisi kemiliteran. Alasan orang-orang pribumi Indonesia jadi tentara Belanda, biasanya untuk bertahan hidup karena tak semua orang Indonesia punya tanah untuk diolah.
“Saya menjadi KNIL karena urusan perut. Tampaknya beberapa rekan saya pun begitu. Mereka menjadi alat pemerintah kolonial bukan karena ideologi, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Didi Kartasasmita dalam biografinya yang ditulis Tatang Sumarsana, Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan (1993).
Didi adalah seorang mantan perwira KNIL pribumi Indonesia, yang di masa kemerdekaan, juga salah satu pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hina hidupnya, kasar adabnya, liar kehidupan seksualnya. Begitulah KNIL.
Zaman Jepang Hampir 100 Ribu Tentara
Profesi tentara di Indonesia memasuki babak baru setelah kalahnya Hindia Belanda dan berkuasanya bala tentara Jepang. Dibukanya lowongan di Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatera, membuka mata orang Indonesia soal profesi militer. Zaman pendudukan yang susah sandang dan pangan, juga penuh doktrinasi perang melawan bangsa barat yang jelas dicap penjajah, menjadi alasan mengapa banyak pemuda bergabung sebagai tentara.
Menurut Amelia Yani, dalam biografi ayahnya, Ahmad Yani Tumbal Revolusi (2007) yang ditulis anaknya, gaji seorang Letnan PETA kira-kira Rp6 di tahun 1944. Harga daging sekilo kala itu 6 sen. Tentu saja tak semua orang di zaman Jepang bisa beli daging. Beras saja sulit didapat. Banyak orang Indonesia terpaksa makan tikus yang menjijikkan. Baju saja terpaksa dari karung goni. Jadi tentara menjadi jalan keluar dari kelaparan di zaman pendudukan Jepang.
Menjadi Tentara, Awalnya Hina Kini Jadi Idaman
Budaya militerisme yang ditanamkan Jepang tak hanya diberikan pada pemuda-pemuda di Heiho, PETA atau Gyugun saja, tapi juga di organisasi sipil dan di sekolah-sekolah. Anak-anak dibiasakan untuk menyaksikan gagah-gagahan tentara dan juga baris berbaris. Propaganda soal membela tanah air, untuk kepentingan Jepang, ditanamkan begitu kuat. Militer Jepang di Indonesia, sepanjang 1942 hingga 1945, telah berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia yang semula memandang rendah profesi tentara jadi berbalik.
Jumlah orang-orang Indonesia yang menjadi PETA di Jawa, menurut Joyce Lebra, dalam Tentara Gemblengan Jepang (1988), mencapai 33 ribu orang. Di Sumatera saja, diperkirakan 20-an ribu pemuda telah dilatih militer sebagai tentara sukarela yang disebut Gyugun. Jangankan tentara sukarela, pembantu tentara yang disebut Heiho juga diminati. Heiho lebih dulu ada ketimbang PETA dan Gyugun. Menurut catatan Marwati Djuned dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 (1977), terdapat 42 ribu orang Indonesia yang menjadi Heiho yang tersebar di Indonesia dan sekitar front Pasifik.
Menurut Mestika Zed dalam bukunya Gyugun Cikal-Bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005), pusat pendidikan perwira didirikan di Lahat, Medan, Padang dan Aceh, sejak Oktober 1943. Jepang melatih orang-orang ini untuk menjaga obyek-obyek vital di Sumatera. PETA juga menjaga instalasi semacam itu, sehingga mereka ditempatkan di keresidenan-keresidenan di Jawa. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, mantan Gyugun menjadi pemimpin-pemimpin militer di Sumatera. Begitu juga dengan PETA di Jawa.
Jika di zaman Hindia Belanda sekitar 30 ribu, maka di zaman pendudukan Jepang yang hanya tiga tahun, jumlahnya meningkat. Jika ada 33 ribu PETA di Jawa, ditambah 20 ribu Gyugun di Sumatera dan ditambah 42 ribu Heiho, maka terdapat 95 ribu orang Indonesia jadi anggota militer.
Pangkat Idaman Calon Mertua
Setelah kemerdekaan, jumlah anggota makin meningkat hingga ratusan ribu. Pada masa revolusi, banyak orang memegang senjata dan berbaju hijau, baik yang pernah jadi militer Belanda atau tentara sukarela buatan Jepang. Bahkan mereka yang tak pernah latihan militer pun terpaksa pegang senjata karena selain untuk melawan tentara Jepang, Belanda dan juga Inggris, mereka bangga disebut pejuang. Tak hanya yang jadi Tentara Keamanan Rakyat yang belakangan jadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), tapi juga yang bergabung dengan laskar. Mereka inilah yang membiasakan dan meyakinkan masyarakat agar merasa bahwa menjadi tentara itu gagah.
Setelah Belanda angkat kaki pada Desember 1950, banyak pemuda yang terbiasa memegang senjata dan memakai seragam militer. Mereka enggan kembali ke kehidupan masyarakat sipil. Bahkan ngotot ingin jadi tentara, walaupun tidak memenuhi syarat seperti yang ditentukan Nasution dan kawan-kawan petinggi militernya yang ingin jumlah tentara sedikit tapi efisien.
Bekas pejuang pun muncul dari kalangan pendukung pemberontakan. Seperti yang dipimpin Ibnu Hajar, Kahar Muzakkar, Andi Sose, Usman Balo dan lainnya. Orang-orang ini sejatinya diterima masuk tentara, namun banyak anak buah mereka yang ditolak. Mereka rela jadi tentara walau pangkatnya hanya prajurit.
Menurut Anhar Gonggong, ada tiga pangkat idaman calon mertua di tahun 1950-an yakni kopral, sersan, dan sersan Mayor. Padahal pangkat-pangkat tersebut masih di bawah pangkat perwira.
Kini, meski banyak profesi dengan bayaran lebih menggiurkan dibanding tentara, animo pemuda untuk menjadi tentara tetap besar. Meski gaji tidak besar, setidaknya jaminan hari tua menjadi hal yang cukup menarik. Tak perlu heran jika sering muncul kabar tentang sebuah keluarga yang menjual tanah dan ternaknya untuk memasukkan anaknya menjadi tentara. Meski pangkatnya rendah, tetapi keluarganya akan dihormati.
Jumlah personel tentara di Indonesia pun terus meningkat. Menurut Military Strength of Indonesia yang dirilis GlobalFirepower.com pada 2015, militer Indonesia memiliki 476 ribu personil aktif dan 400 ribu personil cadangan. Total mencapai 1,1 juta personil di seluruh angkatan. Tentu saja pemerintah dan TNI tak perlu khawatir mencari calon anggota tentara. Sumber daya manusia Indonesia, juga animo masyarakat masih besar untuk menjadi tentara.
Suatu hari, hari kabar buruk datang dari Magelang. Rupanya, Oerip anak tertuanya, yang ketika SD pernah mengepung Kampung Afrika yang berisi anak-anak serdadu di Purworejo, kabur dari OSVIA ke Betawi. Tujuannya adalah masuk sekolah perwira militer di Jatinegara. Remaja yang tabiatnya tak kenal takut dan keras kepala tentu merasa cocok jadi perwira. Soemohardjo senior pun syok dengan berita itu.
Menjadi serdadu di awal abad XX adalah kehinaan. Menurut Haji Daeng Mangemba, dalam bukunya Takutlah Pada Orang-orang Jujur (2002), bagi orang Bugis ada pantangan untuk menjadi serdadu Belanda yang disebut Tenguruk Soldadu. Pekerjaan itu biasanya tempat pelarian orang-orang miskin, putus asa, atau jagoan-jagoan yang hidupnya keras. Butuh waktu untuk berusaha menerima kenyataan, yang sebenarnya tak pahit-pahit amat itu. Soemohardjo akhirnya rela memberikan sangu, bahkan menghadiahi sepeda motor ketika Oerip sudah dilantik jadi letnan muda.
Tak hanya Soemohardjo senior saja yang syok dan kesal ketika anaknya jadi militer kolonial, tapi juga ayah dari Gatot Subroto yang justru marah ketika anaknya masuk sekolah militer di Magelang untuk jadi sersan. Padahal kala itu, gaji sersan, apalagi letnan, tergolong tinggi.
Meski profesi militer (baca: tentara) dianggap hina, setidaknya 75 persen serdadu di militer Hindia Belanda --yang disebut Koninklijk Nederland Indische Leger (KNIL) -- adalah orang-orang pribumi. Mulai dari Jawa, Manado, atau Ambon. Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003), pada 1916, terdapat 30.402 orang KNIL pribumi. Sebanyak 17 ribu di antaranya orang Jawa, lima ribu Manado dan empat ribu Ambon. Jumlah serdadu pribumi itu terus bertambah, karena jumlah orang Belanda di Indonesia tak akan cukup menempati semua posisi kemiliteran. Alasan orang-orang pribumi Indonesia jadi tentara Belanda, biasanya untuk bertahan hidup karena tak semua orang Indonesia punya tanah untuk diolah.
“Saya menjadi KNIL karena urusan perut. Tampaknya beberapa rekan saya pun begitu. Mereka menjadi alat pemerintah kolonial bukan karena ideologi, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Didi Kartasasmita dalam biografinya yang ditulis Tatang Sumarsana, Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan (1993).
Didi adalah seorang mantan perwira KNIL pribumi Indonesia, yang di masa kemerdekaan, juga salah satu pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hina hidupnya, kasar adabnya, liar kehidupan seksualnya. Begitulah KNIL.
Zaman Jepang Hampir 100 Ribu Tentara
Profesi tentara di Indonesia memasuki babak baru setelah kalahnya Hindia Belanda dan berkuasanya bala tentara Jepang. Dibukanya lowongan di Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatera, membuka mata orang Indonesia soal profesi militer. Zaman pendudukan yang susah sandang dan pangan, juga penuh doktrinasi perang melawan bangsa barat yang jelas dicap penjajah, menjadi alasan mengapa banyak pemuda bergabung sebagai tentara.
Menurut Amelia Yani, dalam biografi ayahnya, Ahmad Yani Tumbal Revolusi (2007) yang ditulis anaknya, gaji seorang Letnan PETA kira-kira Rp6 di tahun 1944. Harga daging sekilo kala itu 6 sen. Tentu saja tak semua orang di zaman Jepang bisa beli daging. Beras saja sulit didapat. Banyak orang Indonesia terpaksa makan tikus yang menjijikkan. Baju saja terpaksa dari karung goni. Jadi tentara menjadi jalan keluar dari kelaparan di zaman pendudukan Jepang.
Menjadi Tentara, Awalnya Hina Kini Jadi Idaman
Budaya militerisme yang ditanamkan Jepang tak hanya diberikan pada pemuda-pemuda di Heiho, PETA atau Gyugun saja, tapi juga di organisasi sipil dan di sekolah-sekolah. Anak-anak dibiasakan untuk menyaksikan gagah-gagahan tentara dan juga baris berbaris. Propaganda soal membela tanah air, untuk kepentingan Jepang, ditanamkan begitu kuat. Militer Jepang di Indonesia, sepanjang 1942 hingga 1945, telah berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia yang semula memandang rendah profesi tentara jadi berbalik.
Jumlah orang-orang Indonesia yang menjadi PETA di Jawa, menurut Joyce Lebra, dalam Tentara Gemblengan Jepang (1988), mencapai 33 ribu orang. Di Sumatera saja, diperkirakan 20-an ribu pemuda telah dilatih militer sebagai tentara sukarela yang disebut Gyugun. Jangankan tentara sukarela, pembantu tentara yang disebut Heiho juga diminati. Heiho lebih dulu ada ketimbang PETA dan Gyugun. Menurut catatan Marwati Djuned dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 (1977), terdapat 42 ribu orang Indonesia yang menjadi Heiho yang tersebar di Indonesia dan sekitar front Pasifik.
Menurut Mestika Zed dalam bukunya Gyugun Cikal-Bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005), pusat pendidikan perwira didirikan di Lahat, Medan, Padang dan Aceh, sejak Oktober 1943. Jepang melatih orang-orang ini untuk menjaga obyek-obyek vital di Sumatera. PETA juga menjaga instalasi semacam itu, sehingga mereka ditempatkan di keresidenan-keresidenan di Jawa. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, mantan Gyugun menjadi pemimpin-pemimpin militer di Sumatera. Begitu juga dengan PETA di Jawa.
Jika di zaman Hindia Belanda sekitar 30 ribu, maka di zaman pendudukan Jepang yang hanya tiga tahun, jumlahnya meningkat. Jika ada 33 ribu PETA di Jawa, ditambah 20 ribu Gyugun di Sumatera dan ditambah 42 ribu Heiho, maka terdapat 95 ribu orang Indonesia jadi anggota militer.
Pangkat Idaman Calon Mertua
Setelah kemerdekaan, jumlah anggota makin meningkat hingga ratusan ribu. Pada masa revolusi, banyak orang memegang senjata dan berbaju hijau, baik yang pernah jadi militer Belanda atau tentara sukarela buatan Jepang. Bahkan mereka yang tak pernah latihan militer pun terpaksa pegang senjata karena selain untuk melawan tentara Jepang, Belanda dan juga Inggris, mereka bangga disebut pejuang. Tak hanya yang jadi Tentara Keamanan Rakyat yang belakangan jadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), tapi juga yang bergabung dengan laskar. Mereka inilah yang membiasakan dan meyakinkan masyarakat agar merasa bahwa menjadi tentara itu gagah.
Setelah Belanda angkat kaki pada Desember 1950, banyak pemuda yang terbiasa memegang senjata dan memakai seragam militer. Mereka enggan kembali ke kehidupan masyarakat sipil. Bahkan ngotot ingin jadi tentara, walaupun tidak memenuhi syarat seperti yang ditentukan Nasution dan kawan-kawan petinggi militernya yang ingin jumlah tentara sedikit tapi efisien.
Bekas pejuang pun muncul dari kalangan pendukung pemberontakan. Seperti yang dipimpin Ibnu Hajar, Kahar Muzakkar, Andi Sose, Usman Balo dan lainnya. Orang-orang ini sejatinya diterima masuk tentara, namun banyak anak buah mereka yang ditolak. Mereka rela jadi tentara walau pangkatnya hanya prajurit.
Menurut Anhar Gonggong, ada tiga pangkat idaman calon mertua di tahun 1950-an yakni kopral, sersan, dan sersan Mayor. Padahal pangkat-pangkat tersebut masih di bawah pangkat perwira.
Kini, meski banyak profesi dengan bayaran lebih menggiurkan dibanding tentara, animo pemuda untuk menjadi tentara tetap besar. Meski gaji tidak besar, setidaknya jaminan hari tua menjadi hal yang cukup menarik. Tak perlu heran jika sering muncul kabar tentang sebuah keluarga yang menjual tanah dan ternaknya untuk memasukkan anaknya menjadi tentara. Meski pangkatnya rendah, tetapi keluarganya akan dihormati.
Jumlah personel tentara di Indonesia pun terus meningkat. Menurut Military Strength of Indonesia yang dirilis GlobalFirepower.com pada 2015, militer Indonesia memiliki 476 ribu personil aktif dan 400 ribu personil cadangan. Total mencapai 1,1 juta personil di seluruh angkatan. Tentu saja pemerintah dan TNI tak perlu khawatir mencari calon anggota tentara. Sumber daya manusia Indonesia, juga animo masyarakat masih besar untuk menjadi tentara.
0 Response to "Menjadi Tentara, Awalnya Hina Kini Jadi Idaman Mertua. Mengapa?"
Posting Komentar