Mayjen M. Fuad Basya selaku juru bicara TNI, menyebutkan bahwa tes keperawanan calon prajurit TNI perempuan masih relevan sebab berhubungan dengan kondisi kepribadian dan mental.
Hal ini disampaikan Fuad Basya dalam reportase BBC, terkait seruan lembaga pemantau HAM Human Rights Watch (HRW), agar TNI menghentikan segala bentuk tes keperawanan terhadap para calon prajurit perempuan, yang “invasif” dan “menghinakan.”
Disebutkan Fuad Basya, TNI punya kriteria sendiri dalam menentukan persyaratan bagi para calon pajuritnya, dan pihak lain tak berhak untuk intervensi.
Namun menurut HRW, TNI mewajibkan tes keperawanan selain pada para calon prajurit, juga kepada para calon istri prajurit TNI.
HRW dalam pernyataannya menegaskan, “Militer Indonesia mesti secepatnya mengakhiri apa yang disebut tes keperawanan, yang melanggar hukum HAM internasional yang melarang perlakukan kejam, tak manusiawi dan menghinakan.”
Tes Dua Jari
Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York itu melakukan wawancara dengan 11 perempuan yang diharuskan menjalani tes keperawanan di beberapa rumah sakit militer di Bandung, Jakarta dan Surabaya, serta sejumlah dokter yang melakukan tes itu.
Dalam temuan HRW disebutkan bahwa tes tersebut dilakukan dengan “metoda dua jari” yang invasif: dokter memasukkan dua jarinya untuk menentukan apakah selaput dar4 masih utuh.
Dilanjutkan Fuad Basya, selaput d4ra bisa rusak karena kebiasaan.
“Karena habit, kebiasaan. Karena memang kelakuannya sudah seperti itu. TNI tidak bisa menerima calon prajurit seperti itu. Seorang prajurit TNI harus memiliki mental dan kepribadian yang bagus. Bukan soal per4wan atau tidaknya. Tapi kan dokter tahu, dia tidak per4wan karena apa.”
Ditandaskan Mayjen kelahiran Bukit Tinggi itu, tes (keperawanan) ini masih relevan untuk TNI.
“Kalau tidak dibatasi seperti itu, maka orang yang habit-nya tidak bagus akan menjadi prajurit TNI. Padahal prajurit TNI itu adalah pembela negara. Orang yang bertanggung jawab terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, keselamatan bangsa. [Untuk mengukur kepribadian dan mental seseorang,] salah satunya, untuk wanita, di sana [di keperawanan],” jelasnya.
Dikatakannya, tes tersebut dapat dikatakan merupakan standar kualifikasi bagi prajurit TNI.
“Bagaimana seorang yang mentalnya tidak bagus, kepribadiannya tidak bagus, menjadi prajurit TNI. Ya tidak bisa. Anda bisa bayangkan, kalau nanti seorang wanita tuna susila menjadi prajurit TNI, mau jadi apa tentara Indonesia,” ujarnya.
Invasi Terhadap Tubuh
Meski begitu, Nisha Varia, dari Human Right Watch menyatakan pemikiran yang berseberangan.
“Angkatan Bersenjata Indonesia harus menyadari bahwa tes keperawanan yang menyakitkan dan menghinakan perempuan itu tak ada hubungannya dengan keamanan nasional.”
Aktivis perempuan, Tunggal Pawestri juga menyebutkan hal senada.
Disebutkannya, keperawanan sebagai perlambang kesucian dan “kelakuan baik” adalah mitos yang harus dihancurkan. Pasalnya, selama ini tak ada tes sejenis terhadap kaum laki-laki. Menurut Tunggal Pawestri ini jelas termasuk diskriminasi gender.
“Mitos yang sangat diskriminatif karena hanya berlaku bagi perempuan.”
Kekerasan
“Saat perempuan diukur kepribadian dan mentalnya dari keperawanannya, maka TNI telah merendahkan perempuan ke tempat yang paling dasar.”
Tunggal Pawestri melanjutkan, gampang sekali menemukan tentara lelaki, mulai prajurit rendahan hingga perwira tertinggi yang diandaikan bermoral tinggi, nyatanya “bermental busuk,” “korup” dan “terbiasa melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat kecil dan tak berdaya”.
Lebih dari itu, Tunggal menegaskan bahwa tes keperawanan bagi perempuan merupakan bentuk kekerasan seksual.
“Tes keperawanan termasuk dalam kategori kekerasan s3ksual, dan karena itu harus dihentikan.”
Tunggal Pawestri tak habis pikir, di zaman yang sudah semaju ini tes keperawanan yang dipandangnya didasarkan pada “pikiran terbelakang” itu masih diberlakukan.
Tunggal mengatakan bahwa Pemerintah dan Presiden Joko Widodo harus serius merespons hal ini, terutama lembaga seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Yang perlu dipertimbangkan adalah, bukankah tes invasi dua jari tersebut justru malah akan merusak selaput dara seorang perempuan?
Maret 2017 Suratkabar
Hal ini disampaikan Fuad Basya dalam reportase BBC, terkait seruan lembaga pemantau HAM Human Rights Watch (HRW), agar TNI menghentikan segala bentuk tes keperawanan terhadap para calon prajurit perempuan, yang “invasif” dan “menghinakan.”
Disebutkan Fuad Basya, TNI punya kriteria sendiri dalam menentukan persyaratan bagi para calon pajuritnya, dan pihak lain tak berhak untuk intervensi.
Namun menurut HRW, TNI mewajibkan tes keperawanan selain pada para calon prajurit, juga kepada para calon istri prajurit TNI.
HRW dalam pernyataannya menegaskan, “Militer Indonesia mesti secepatnya mengakhiri apa yang disebut tes keperawanan, yang melanggar hukum HAM internasional yang melarang perlakukan kejam, tak manusiawi dan menghinakan.”
Tes Dua Jari
Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York itu melakukan wawancara dengan 11 perempuan yang diharuskan menjalani tes keperawanan di beberapa rumah sakit militer di Bandung, Jakarta dan Surabaya, serta sejumlah dokter yang melakukan tes itu.
Dalam temuan HRW disebutkan bahwa tes tersebut dilakukan dengan “metoda dua jari” yang invasif: dokter memasukkan dua jarinya untuk menentukan apakah selaput dar4 masih utuh.
Baca juga: Inilah Makanan Wajib Tentara di Dunia, Punya TNI Bikin Ngiler. Ada yang Mau Nyobain?Sebagai tanggapannya, jubir TNI Mayjen Fuad Basya mengakui, “Seseorang yang sudah tidak per4wan, mendaftar mau jadi prajurit TNI, ada beberapa kemungkinan. Mungkin karena kecelakaan, bisa juga karena sakit.”
Dilanjutkan Fuad Basya, selaput d4ra bisa rusak karena kebiasaan.
“Karena habit, kebiasaan. Karena memang kelakuannya sudah seperti itu. TNI tidak bisa menerima calon prajurit seperti itu. Seorang prajurit TNI harus memiliki mental dan kepribadian yang bagus. Bukan soal per4wan atau tidaknya. Tapi kan dokter tahu, dia tidak per4wan karena apa.”
Ditandaskan Mayjen kelahiran Bukit Tinggi itu, tes (keperawanan) ini masih relevan untuk TNI.
“Kalau tidak dibatasi seperti itu, maka orang yang habit-nya tidak bagus akan menjadi prajurit TNI. Padahal prajurit TNI itu adalah pembela negara. Orang yang bertanggung jawab terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, keselamatan bangsa. [Untuk mengukur kepribadian dan mental seseorang,] salah satunya, untuk wanita, di sana [di keperawanan],” jelasnya.
Dikatakannya, tes tersebut dapat dikatakan merupakan standar kualifikasi bagi prajurit TNI.
“Bagaimana seorang yang mentalnya tidak bagus, kepribadiannya tidak bagus, menjadi prajurit TNI. Ya tidak bisa. Anda bisa bayangkan, kalau nanti seorang wanita tuna susila menjadi prajurit TNI, mau jadi apa tentara Indonesia,” ujarnya.
Invasi Terhadap Tubuh
Meski begitu, Nisha Varia, dari Human Right Watch menyatakan pemikiran yang berseberangan.
“Angkatan Bersenjata Indonesia harus menyadari bahwa tes keperawanan yang menyakitkan dan menghinakan perempuan itu tak ada hubungannya dengan keamanan nasional.”
Aktivis perempuan, Tunggal Pawestri juga menyebutkan hal senada.
Baca juga: Selama Ini Diam, Inilah Pasukan Khusus Paling Misterius Indonesia Yang Ditakuti Dunia“Tes keperawanan [dengan dua jari] adalah sebuah invasi, serangan terhadap kedaulatan tubuh perempuan.”
Disebutkannya, keperawanan sebagai perlambang kesucian dan “kelakuan baik” adalah mitos yang harus dihancurkan. Pasalnya, selama ini tak ada tes sejenis terhadap kaum laki-laki. Menurut Tunggal Pawestri ini jelas termasuk diskriminasi gender.
“Mitos yang sangat diskriminatif karena hanya berlaku bagi perempuan.”
Kekerasan
“Saat perempuan diukur kepribadian dan mentalnya dari keperawanannya, maka TNI telah merendahkan perempuan ke tempat yang paling dasar.”
Tunggal Pawestri melanjutkan, gampang sekali menemukan tentara lelaki, mulai prajurit rendahan hingga perwira tertinggi yang diandaikan bermoral tinggi, nyatanya “bermental busuk,” “korup” dan “terbiasa melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat kecil dan tak berdaya”.
Lebih dari itu, Tunggal menegaskan bahwa tes keperawanan bagi perempuan merupakan bentuk kekerasan seksual.
“Tes keperawanan termasuk dalam kategori kekerasan s3ksual, dan karena itu harus dihentikan.”
Tunggal Pawestri tak habis pikir, di zaman yang sudah semaju ini tes keperawanan yang dipandangnya didasarkan pada “pikiran terbelakang” itu masih diberlakukan.
Tunggal mengatakan bahwa Pemerintah dan Presiden Joko Widodo harus serius merespons hal ini, terutama lembaga seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Yang perlu dipertimbangkan adalah, bukankah tes invasi dua jari tersebut justru malah akan merusak selaput dara seorang perempuan?
Maret 2017 Suratkabar
0 Response to "Kontroversi Perihal Tes Keperawanan Terhadap Calon Prajurit dan Istri Prajurit TNI"
Posting Komentar