Pasukan T Ronggolawe bersama Letnan de Waard dari Belanda saat penyerahan Wonosobo |
Setelah membentuk dua batalyon dan resmi bergabung dengan TKR Divisi IV Resimen 24 di Kendal mereka diperintahkan oleh Komandan TKR Divisi IV Mayor Jenderal GPH Djatikusumo untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Opsir Tjadangan (SOT) di Salatiga pada Februari 1946.
PENDIDIKAN DAN LATIHAN PASUKAN T RONGGOLAWE
Sekolah Opsir Tjadangan (SOT) ini diadakan untuk membentuk satu korps opsir (perwira) cadangan dari guru dan pelajar yang telah bergabung dalam TKR Divisi IV. Gagasan ini muncul dari Mayor Jenderal GPH Djatikusumo setelah melihat banyaknya korban dari para pelajar dan guru yang hanya bermodal semangat yang besar ikut berjuang di sekitar Semarang dan Ambarawa di penghujung 1945.
Djatikusumo ingin agar potensi intelektual dan kemampuan tempur di lapangan para guru dan pelajar benar-benar dimanfaatkan untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Sehingga, di SOT mereka diberi pendidikan kemiliteran, pengetahuan teknik, taktik dan strategi militer sehingga selain semangat dan keberanian, kemampuan tempurnya juga meningkat.
SOT ini merupakan perpaduan antara program pendidikan perwira dan Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Hal ini didasari pemikiran jika nantinya situasi telah pulih maka para pesertanya, yang pada dasarnya merupakan pelajar yang kemudian ikut berjuang, dapat meneruskan pendidikan mereka ke sekolah umum. Mayor Jendral Djatikusumo memerintahkan beberapa orang stafnya, Darsono (eks-Kepala Sekolah Guru), Soemarso (eks-CORO/Cursus voor Opleiding van Reserve Officieren – Sekolah Calon Perwira Cadangan Hindia Belanda) dan Sukamto (eks-PETA/Pembela Tanah Air – Paramiliter bentukan Jepang) untuk menyusun kurikulum SOT.
Diperkirakan bila tidak ada halangan para peserta SOT dapat diangkat menjadi perwira dan terampil memimpin sampai tingkat kompi setelah mengikuti pendidikan selama 18 bulan. Mayor Jenderal GPH Djatikusumo sendiri yang memberikan pelajaran tentang kemiliteran sedangkan untuk pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru sekolah menengah.
Regi I Pasukan T Ronggolawe. |
Program SOT pun berakhir pada Juni 1946 dan diadakan ujian kemampuan tempur oleh Mayor Jenderal GPH Djatikusumo untuk menentukan kelulusan para siswa. Siswa yang lulus mendapat ijazah SOT yang ditandatangani oleh Letnan Jenderal Urip Sumoharjo sebagai Kepala Markas Besar Umum TKR dan Mayor Jenderal GPH Djatikusumo sebagai Komandan TKR Divisi IV. Kemudian dari peserta SOT ini ada yang melanjutkan ke sekolah umum (ke SMA dan Perguruan Tinggi) dan ada pula yang tetap dalam dinas militer. Hal ini sesuai dengan sifat perwira SOT sebagai perwira cadangan/reserve.
MARKAS BARU DI CEPU
Setelah terjadi perubahan organisasi tentara di Jawa yang merampingkan dari 10 divisi diatas kertas menjadi 7 divisi tempur dan panglima divisinya berpangkat Kolonel, maka Divisi IV di Salatiga berubah menjadi Divisi V Ronggolawe dengan markas baru di Cepu.
Pejabat panglima divisinya tetap GPH Djatikusumo dengan pangkat menjadi kolonel. Segera setelah Belanda melancarkan agresi militer pertamanya pada 21 Juli 1947, Kolonel GPH Djatikusumo memanggil para perwira cadangan yang pernah mengikuti SOT di Salatiga pada 1946, dan mengaktifkan mereka kembali menjadi anggota militer. Panggilan ini disiarkan juga melalui RRI sehingga dapat menjangkau masyarakat luas.
Regu II Pasukan T Ronggolawe |
Dengan berkumpulnya kembali para lulusan SOT maka secara resmi dibentuk Pasukan T (Tjadangan) Divisi V Ronggolawe (selanjutnya lebih dikenal dengan nama Pasukan T Ronggolawe). Perwira yang ditunjuk sebagai komandannya adalah Letnan Satu Adiwoso Abubakar. Di Cepu mereka juga diberikan materi tambahan kemiliteran, seperti hukum perang dan internasional, bahasa Inggris, pertahanan rakyat dan intelijen tempur.
Emblem yang digunakan oleh Pasukan T Ronggolawe berbentuk perisai berwarna merah, di dalamnya bergambar kuda hitam dengan latar belakang huruf “T” berwarna kuning. Dibawah gambar kuda tadi terdapat tulisan “RONGGOLAWE” dan di atasnya bergambar bintang. Gambar kuda hitam dipilih karena melambangkan semangat yang berapi-api dan berkaitan dengan kisah kuda hitam yang menjadi kesayangan Ronggolawe, Adipati Tuban di zaman Kerajaan Majapahit. Yang memprakarsai desain emblem adalah beberapa anggota Pasukan T Ronggolawe sendiri, antara lain Hardijono, Nong Setiadi dan Boes Soewondo.
Tugas pokok Pasukan T Ronggolawe, adalah melakukan penyusupan ke wilayah yang dikuasai musuh dan mengamati keberadaan mata-mata musuh di wilayah Divisi V Ronggolawe (tugas intelijen tempur dan kontra-intelijen tempur); Melakukan pembinaan teritorial mempersiapkan kekuatan dan pertahanan wilayah bersama rakyat hingga mempersiapkan bumi hangus jika sampai diperlukan; Dan menjadi kekuatan tempur di lapangan.
Penugasan yang diberikan kepada Pasukan T Ronggolawe pada pertengahan 1947 hingga April 1948 adalah di Front Ronggolawe I yang mencakup wilayah barat dan utara Surabaya serta Gresik. Selain itu juga kemudian di Front Ronggolawe II yang mencakup wilayah Semarang Timur dan Demak. Anggota pasukan T ini juga ada yang bertugas menjadi perwira penghubung (liason officer) ketika para perwira peninjau dari KTN (Komisi Tiga Negara) datang ke Surabaya. Para perwira peninjau ini kagum atas keteraturan, disiplin dan kemampuan anggota Pasukan T Ronggolawe. Misalnya dalam hal komunikasi dalam bahasa asing serta senjata yang digunakan selalu rapi dan bersih. Penugasan pimpinan kepada Pasukan T salah satunya adalah ingin menunjukkan ke dunia luar melalui komisionel KTN bahwa yang berjuang di Indonesia bukanlah bandit dan teroris seperti klaim Belanda/NICA, melainkan suatu badan ketentaraan profesional.
PASUKAN T RONGGOLAWE MENJADI PASUKAN T-SAD
Pasukan T Ronggolawe bersama Letnan de Waard dari Belanda saat penyerahan Wonosobo |
Perubahan dan perampingan organisasi yang dilakukan selanjutnya menjadikan Divisi V Ronggolawe berubah menjadi Brigade Mobil l/Ronggolawe pada 1 April 1948. Kolonel GPH Djatikusumo pun menempati jabatan barunya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Pasukan T Ronggolawe pun akhirnya juga berubah menjadi pasukan organik yang langsung di bawah komando KSAD dan resmi menyandang nama Pasukan Tjadangan Staf Angkatan Darat (Pasukan T-SAD, lebih dikenal dengan sebutan Pasukan T), walaupun pada saat itu semua kesatuan tentara pelajar yang ada digabungkan ke dalam Brigade XVII/TP.
Pasca gencatan senjata sesuai Persetujuan Renville, KSAD memberikan kebijakan bagi para anggota Pasukan T untuk melanjutkan sekolahnya. Dari mereka ini ada yang melanjutkan ke sekolah umum (ke SMA dan Perguruan Tinggi) dan ada pula yang melanjutkan dinas militernya, baik tetap di angkatan darat atau memilih menjadi kadet penerbang serta ada juga yang memilih melanjutkan ke sekolah kepolisian.
KSAD Kolonel Djatikusumo mengeluarkan perintah penugasan kepada Pasukan T untuk menjalankan operasi teritorial dan intelijen di Kabupaten Purwodadi, Pati, Kudus dan Jepara pada bulan Oktober 1948 yang bertujuan mendampingi pemulihan pemerintahan sipil dan menjadi perwira penghubung dengan pasukan Divisi Siliwangi yang bertugas menumpas pemberontakan PKI Madiun
Dalam melaksanakan tugasnya, mereka bertanggung jawab langsung kepada KSAD dan berkoordinasi di lapangan dengan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Soebroto. Penugasan ini menjadi pengalaman baru bagi para anggota Pasukan T karena titik beratnya adalah aspek pembinaan teritorial dan intelijen, mereka langsung berhubungan dengan rakyat, pemerintah daerah dan unsur militer yang ada. Bahkan beberapa diantaranya ditugaskan menjadi Wedana Militer dan Camat Militer karena pejabat pemerintahan sipil daerah itu dibunuh PKI atau pergi mengungsi.
AGRESI II MILITER BELANDA
Regu III Pasukan T Ronggolawe. |
Agresi II Militer Belanda pada 19 Desember 1948 membuat anggota pasukan T terpisah di dua front. Mereka yang masih bertugas di Pati dan sekitarnya pasca pemulihan akibat pemberontakan PKI Madiun bergerilya di sekitar Gunung Muria menghadapi Pasukan Marinir Belanda yang mendarat di Rembang dan pasukan infanterinya dari Semarang. Perlengkapan dan senjata yang mereka gunakan mendapat tambahan hasil rampasan dari para pemberontak PKI, seperti Senapan LE, Senapan Steyr/Hemburg eks-KNIL, Senapan Arisaka eks-Jepang dan granat tangan. Beberapa anggota Pasukan T di front ini adalah Mayor Munadi, Kapten Ali Mahmudi dan Letnan Satu Slamet Danusudirdjo.
Front yang kedua dialami para anggota Pasukan T yang selesai melanjutkan SMA di Magelang dan yang sedang berkuliah di Yogyakarta, mereka bergerilya di sekitar Daerah Aliran Sungai Kulon Progo, Gunung Sumbing dan Wonosobo. Mereka dipimpin oleh Letnan Dua Sudharmono (yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden Rl). Perlengkapan mereka lebih baik, selain menggunakan Senapan LE, Senapan Steyr/Hemburg eks-KNIL, Senapan Arisaka eks-Jepang dan granat tangan juga dilengkapi pistol mitraliur Schmeisser dan mortir eks-Jepang lengkap dengan amunisinya. Anggota Pasukan T ini berhasil melancarkan serangan umum ke kota Magelang pada 17 Januari 1949 pukul 00.00, walaupun sasaran utamanya bukan untuk menguasai kota serangan ini mampu membuat Pasukan Belanda panik di pos-posnya.
Ketika pasukan ini bergerilya dekat Wonosobo, mereka bermarkas di Marongsari. Dan atas inisiatif salah seorang anggotanya, Rinto Sulaiman mereka bisa menerbitkan majalah yang berjudul SPES PATRIAE (Untuk Tanah Air). Majalah ini memeuat pengalaman, pemikiran dan cerita dari para anggota Pasukan T. Yang menenarik, halaman terakhirnya diberi judul “Ruangan bahasa Musuh” yang memuat tulisan berbahasa Belanda. Majalah ini di bawa masuk ke kota Magelang oleh para gadis penghubung yang ikut membantu Pasukan T sejak dari Gunung Sumbing. Majalah ini juga sampai ke tangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX ketika beliau singgah di Magelang.
Salah satu keberhasilan mereka adalah memukul patroli Pasukan KL (Koninklijke Leger – Pasukan Kerajaan Belanda, bukan NICA/KNIL) dari Sapuran di Desa Banaran pada Juli 1949. Keberhasilan ini didukung persiapan dan potensi medan pertahanan walaupun persenjataan kalah jauh dibandingkan milik Pasukan KL.
Pejuang Wanita yang membantu Pasukan T Ronggolawe. |
Karena posisi Pasukan Belanda yang semakin terjepit menghaapi gerilya maka pihak Belanda melapor ke pihak UNCI (United Nations Commission for Indonesia – Badan PBB yang menengahi konflik Indonesia – Belanda) agar menyampaikan perintah penghentian tembak menembak. Penghentian tembak menembak di lapangan mulai efektif tanggal 9 Agustus 1949 walaupun sebenarnya pada tanggal 3 Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman telah mengumumkan perintah Penghentian tembak menembak.
Beberapa perwira Pasukan T ditugaskan menjadi perwira penghubung (liason officer) dengan perwira dari Pasukan Belanda. Mereka juga membahas penarikan Pasukan Belanda dari Wonosobo dan serah terima kota Wonosobo kepada TNI. Pasukan T resmi masuk kota Wonosobo pada 18 Oktober 1949.
MELANJUTKAN KEHIDUPAN PASCA PERANG KEMERDEKAAN
Setelah keadaan berangsur aman, seluruh anggota Pasukan T ditarik ke Yogyakarta. Para anggota yang pernah mengikuti SOT di Salatiga tahun 1946 dan masih berpangkat Letnan Muda diperintahkan melanjutkan Pendidikan Perwira di Akademi Militer, sisanya bertugas di staf Brigade XVII pimpinan Letnan Kolonel Kusno Utomo.
Pada Maret 1950, anggota Pasukan T yang melanjutkan Pendidikan Perwira di Akademi Militer dilantik menjadi Letnan Dua dan mendapat penugasan tersebar di satuan-satuan TNI-AD. Sedangkan yang menjadi staf Brigade XVII, rata-rata berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya pada tahun 1950 dan 1951 di Magelang. Mereka ada yang tetap berdinas militer atau memilih melanjutkan ke perguruan tinggi berbagai bidang. Oleh sebab itu, mulai 1950 dengan sendirinya keberadaan Pasukan T eks Pasukan T Ronggolawe sudah tidak ada.
Pasukan T Ronggolawe memasuki kota Wonosobo |
Walaupun demikian, silaturahmi antar eks-anggota dan keluarganya masih tetap terjaga. Mereka mendirikan Himpunan Pasukan T Ronggolawe pada Juni 1966 dan Yayasan Pasukan T Ronggolawe. Tujuan organisasi ini selain mempererat silaturahmi adalah membantu keluarga anggota yang meninggal dunia, membantu rakyat di daerah gerilya eks-Pasukan T sebagai ungkapan terima kasih dan menghimpun dana untuk mendukung aktifitas tadi.
Organisasi ini juga pernah mengadakan reuni keluarga eks-Pasukan T di Istana Cipanas pada 22 Juni 1989 bersama Letnan Jenderal (purn) GPH Djatikusumo. Dan pada Maret 1991 juga melakukan reuni dengan bekas musuhnya, anggota Batalyon 425 KL di Wonosobo.
Sumber : Hobbymiliter.com
0 Response to "Pasukan T Ronggolawe, Pasukan Pejuang Pelajar Indonesia!!"
Posting Komentar