Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia akan tergantung pada kebutuhan dan memerlukan koordinasi yang lebih baik dengan aparat keamanan lainnya.
Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi memeriksa kesiapan pasukan TNI AD |
“Ya, tergantung kebutuhannya, TNI juga punya kelebihan dan kita butuh lebih banyak lagi, tapi harus ada koordinasi yang baik,” ujar Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, 30/5/2017.
Pernyataan ini disampaikan JK untuk menanggapi usulan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme yang akan diatur dalam Revisi Undang-Undang Anti-terorisme yang saat ini masih dibahas anggota DPR.
Terkait kritikan yang mengemuka bahwa pelibatan TNI akan meningkatkan risiko pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Wapres mengatakan terorisme adalah tindakan kriminal yang keji dan aparat keamanan akan bertindak demi keselamatan warga dan kepentingan negara.
“Semuanya kepentingan negara, dan kepentingan rakyat, mau membedakannya bagaimana? Bangsa terdiri daripada rakyat jadi bukan hanya ‘human right’ karena ini memang kriminal, kejahatan, bukan melanggar ‘human right’,” katanya.
Wapres menambahkan, meskipun pemerintah menginginkan pembahasan Revisi UU Anti-Terorisme dipercepat, namun tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) karena Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme masih mumpuni untuk melakukan penegakan hukum terhadap aksi terorisme.
“Dengan UU yang sekarang toh juga luar biasa, kita malah dipuji dunia bahwa kita melaksanakan, katakanlah Densus Kepolisian, tentara itu menanganinya dengan baik, walaupun ada satu dua yang gagal, tapi tidak bisa dikatakan begitu ada UU, terorisme selesai, tidak bisa,” tuturnya.
Menurut JK, Revisi UU Anti-Terorisme merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kinerja pemerintah dan aparat keamanan untuk menanggulangi aksi terorisme sejak dini.
“Tetap harus ada usaha seperti itu, pemerintah berusaha agar pembahasan resvisi UU lebih cepat, untuk penanganan yang lebih cepat, sekarang ‘kan seseorang yang dicurigai tidak bisa ditangkap sebelum dia berbuat sesuatu ‘kan,” ujarnya.
Salah satu isi revisi UU Anti-Terorisme adalah memberikan kewenangan bagi badan intelijen untuk melakukan tindakan pencegahan sehingga dibolehkan melakukan interogasi terhadap orang atau suatu pertemuan yang diduga terkait dengan terorisme.
Pansus soal TNI Berantas Terorisme
Ketua Panitia Khusus revisi UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, M. Syafi’i menegaskan keterlibatan institusi TNI dalam pemberantasan terorisme di Pansus yang diatur dalam UU tersebut sudah final.
“Soal keterlibatan TNI ini sebenarnya sudah matang dibahas, baik di Pansus maupun di Panja. Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa kalau ada yang mempersoalkan keterlibatan TNI itu karena mereka tidak tahu undang-undang,” kata M. Syafi’i di Gedung Nusantara II, Jakarta, 30/5/2017.
Dia menjelaskan dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI di pasal 72 dinyatakan bahwa ada 14 Operasi Militer Selain Perang (OMSP) salah satu di antaranya adalah memberantas teroris.
Karena itu, dia menilai sebenarnya tanpa diatur dalam UU Terorisme, TNI memang sudah memiliki kewenangan memberantas teroris.
“Kami hanya ingin bagaimana mengharmonisasikan kewenangan TNI, Kepolisian dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa menjadi satu nafas yang diatur dalam UU Terorisme,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu menjelaskan definisi tindakan terorisme bukan hanya ancaman terhadap keamanan dan ketertiban yang menjadi tugas Kepolisian.
Dia menegaskan teroris bukan hanya ancaman terhadap keamanan dan ketertiban, namun juga ancaman terhadap negara sehingga menjadi wilayah tugas TNI.
“Sangat dimungkinkan dan sudah benar itu undang-undang TNI mengatur kewenangan TNI untuk memberantas teroris. Kami hanya ingin mengharmonisasikan agar tidak tumpang tindih,” tuturnya.
Syafi’i menjelaskan meskipun ada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Anti-teror, harus digarisbawahi tugas pengamanan Presiden dan Wakil Presiden ada pada TNI.
Selain itu menurut dia, pengamanan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), kapal laut berbendera Indonesia dan kejadian di pesawat udara bukan wilayah tugas Kepolisian, namum tugas TNI.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo ingin unsur TNI dapat terlibat dalam praktik antiterorisme dan meminta keterlibatan TNI dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Terorisme yang hingga kini masih dibahas di DPR RI.
“Berikan kewenangan kepada TNI untuk masuk di dalam RUU ini. Tentu saja dengan alasan-alasan yang saya kira dari Menko Polhukam sudah mempersiapkan,” ujar Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (29/5).
Presiden Jokowi sekaligus meminta Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mendesak DPR untuk menyelesaijan RUU tersebut.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai jangan menarik institusi TNI untuk menangani dan menindak terorisme karena hal itu cara berpikir mundur dan kontraproduktif dengan agenda reformasi.
“Reformasi sektor keamanan dalam negeri seharusnya terus bergerak maju dengan menunjukkan konsistensi pada pendekatan hukum sipil sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” kata Bambang di Jakarta, Senin (29/5).
Dia menilai peran masing-masing elemen bangsa harus proporsional dalam menangani terorisme sesuai peraturan perundang-undangan serta derajat tantangannya.
Karena itu, menurut dia, kebutuhan kontribusi TNI memerangi tindak pidana terorisme tidak berstatus otomatis atau menjadi fungsi yang dipermanenkan dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Antara
0 Response to "Inilah Pro Kontra Tentang Keterlibatan TNI Berantas Terorisme"
Posting Komentar